Senin, 03 September 2012

ASAS-ASA HUKUM WARIS

ASAS-ASAS HUKUM WARIS ISLAM DASAR HUKUM WARIS ISLAM. Bagi umat Islam, melaksanakan peraturan-peraturan Syari'at yang ditunjuk oleh nash-nash yang Shahih, termasuk dalam soal pembagian Harta Warisan adalah suatu keharusan (kewajiban) sebagai bagian dari Rukun Iman dan Rukun Islam . Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 13 dan 14, Allah SWT akan menempatkan orang-orang yang mentaati ketentuan pembagian harta warisan ke dalam surga-Nya untuk selama-lamanya, dan memasukkan ke dalam neraka-Nya bagi orang-orang yang tidak mengindahkannya. و من يـعـص الله ورسـوله و يـتـعـد حـد وده يـد خـله نارا خـا لدا فـيها وله عـذاب مـهـين. (النساء : 14). Artinya : Dan siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa/ 4: 14). Juga hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan kita agar membagi harta warisan itu menurut Kitab Suci Al-Qur'an : أقـسـمـواالـمال بين أهل الفرائض على كتاب الله. (رواه مسلم وابوداود). Artinya : Bagilah harta warisan di antara ahli warits menurut Kitabullah (Al-Qur'an). (H. R. Muslim dan Abu Daud). RUKUN WARIS MEWARISI. Ada tiga rukun waris yaitu : 1. MAURUTS ; yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh si mati (almarhum) yang bakal diwarisi oleh ahli warits setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan dan penyelenggaraan mayit, melunasi-hutang-hutang mayit dan melaksanakan wasiat si mayit. Harta yang tersisa ini disebut juga TIRKAH atau TURATS. 2. MUWARRITS ; yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati Haqiqi maupun mati Hukmi. Mati Hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh suatu Keputusan Hakim (Pengadilan) atas dasar beberapa sebab, sekalipun sesungguhnya ia sejatinya belum mati. 3. WARITS ; atau ahli waris yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan (harta peninggalan) si Mawarits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewarisi, seperti karena adanya ikatan perkawinan, hubungan darah atau keturunan dan hubungan hak perwalian dengan si Muwaris. ASAS-ASAS HUKUM WARIS ISLAM. Hukum Waris Islam yaitu Hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan pemindahan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Kompilasi Islam adalah apa yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI Nomor : 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang secara resmi diberlakukan mulai tanggal 22 Juli 1991 di seluruh instansi Departemen Agama dan intansi pemerintah serta masyarakat yang memerlukannya. Hukum Waris disebut juga dengan "Hukum Fara'id", jama' dari kata "fardun", yang erat sekali hubungannya dengan kata "Fard" yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Dasar Hukumnya yang utama adalah Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 11, 12 dan 176, juga hadits-hadits Nabi SAW yang kemudian ditafsirkan secara detail oleh para fuqaha. Asas Hukum Waris Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits menurut Prof. DR.Amir Syarifuddin, adalah sebagai berikut : A. ASAS IJBARI (PEMAKSAAN). Asas Ijbari mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan dengan kehendak atau kemauan pewaris (si mati) atau ahli warisnya. Unsur memaksa (Ijbari) dalam hukum waris ini terlihat terutama dalam adanya kewajiban ahli waris untuk menerima peralihan harta warisan peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Allah SWT di luar kehendaknya sendiri. Asas ini dapat dilihat dari beberapa hal : 1. Dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah seseorang meninggal dunia. Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 7 menyebutkan bahwa bagi laki-laki dan perempuan ada hak bagian (nasib) warisan dari harta warisan Ibu-Bapa dan keluarga dekatnya. Oleh karena itu pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal dunia, demikian pula ahli waris tidak perlu meminta-minta haknya kepada calon pewaris. 2. Dari segi jumlah yang sudah ditentukan bagi masing-masing ahli waris. Ini tergambar dari kata "Mafruuddan" yang berarti ditentukan atau diperhitungkan. Kata tersebut mengandung arti memaksa manusia untuk melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT itu. 3. Penerimaan harta warisan sudah ditentukan dengan pasti bagi mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris seperti yang dirinci dalam pengelompokan ahli waris pada surat An-Nisa ayat 11, 12 dan 176, ketentuan ini bersifat wajib untuk dilaksanakan. Dalam KHI asas Ijbari ini secara umum terlihat pada ketentuan umum mengenai perumusan pengertian kewarisan, pewaris dan ahli waris. Secara khusus asas ijbari mengenal cara peralihan harta warisan juga disebut dalam Pasal 187 ayat (2) yang berbunyi: "Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak". Kata "harus" dalam pasal ini menunjukkan sifat "imperatif" dan mengandung asas "ijbari". Tentang bagian masing-masing ahli waris diatur dalam Bab III Pasal 176 s/d 182. Mengenai siapa-siapa yang menjadi ahli waris diatur dalam Bab II Pasal 174 ayat (1) dan (2). B. ASAS BILATERAL. Asas Bilateral ini berarti bahwa seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak (dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan). Asas ini terlihat pada surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 ditegaskan bahwa seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayah dan ibunya, demikian pula prempuan. Dalam ayat 11 ditegaskan juga : (1) Anak perempuan berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak laki-laki dengan 1 : 2, (2) Ibu berhak mendapat warisan dari anak laki-laki maupun anak perempuannya sebesar 1/6, demikian pula ayah. Dalam ayat 12 dijelaskan: bila laki-laki dan perempuan meninggal dunia dengan tidak mempunyai anak (Kalalah), maka saudara laki-laki dan saudara perempuannya berhak mendapatkan harta warisannya. Sedangkan dalam ayat 176 ditegaskan: (1) Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan, tapi mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan itulah yang menjadi ahli waris dan berhak menerima warisannya. (2) Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan, tetapi ia mempunyai saudara laki-laki, maka saudara laki-lakinya itulah ahli waris yang berhak menerima warisannya. Saudara-saudara yang tersebut pada ayat 12 adalah saudara garis Ibu, sedangkan pada ayat 176 adalah saudara garis ayah atau garis ayah dan ibu. Ahli waris keluarga dekat (kerabat) lain yang tidak tersebut secara tegas dalam Al-Qur'an dapat diketahui dari Hadits Rasulullah SAW, dapat juga diketahui dari penafsiran para puqaha, misalnya: ahli waris Kakek dapat diketahui dari kata "Abun" dalam Al-Qur'an, yang dalam bahasa Arab bisa berarti "Kakek" secara umum, demikian juga "Nenek" dari kata "Ummun" yang terdapat dalam Al-Qur'an. Di samping itu terdapat juga penjelasan dari Rasulullah SAW tentang kewarisan Kakek dan Nenek. Dari perluasan pengertian itu dapat diketahui bahwa garis kerabat ke atas melalui pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Dalam garis kerabat ke bawah, walaupun tidak secara jelas disebut dalam Al-Qur'an, namun dapat diketahui dari perluasan pengertian kata "Walad", yaitu baik anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunannya. Hanya di kalangan "Sunni" maksud pengertian "Anak" itu dibatasi pada "Anak Laki-Laki dan keturunannya saja". Di kalangan "Syi'ah" makna "Anak" itu diperluas kepada anak laki-laki dan perempuan serta cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Dalam KHI asas ini dapat dibaca dalam pengelompokan ahli waris seperti tercantum pada Pasal 174 ayat (1) yaitu : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek (golongan laki-laki), sedangkan golongan perempuan yaitu: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek; ini menurut sebab adanya hubungan darah (keturunan). Dengan disebutkannya secara tegas ahli waris golongan laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi ahli waris, maka jelas adanya asas bilateral, duda atau janda menjadi ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan adalah juga ciri kewarisan bilateral. Prof. Hazairin adalah orang yang pertama mengutarakan asas bilateral dalam kewarisan Islam ini, dalam kuliah umumnya di Universitas Indonesia Jakarta pada tanggal 17 Nopember 1957 beliau mengatakan bahwa sistem kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) dalam Al-Qur'an adalah bilateral. Menurut beliau Al-Qur'an hanya meredhai masyarakat yang bilateral. Setelah mempelajari dengan seksama surat An-Nisa ayat 23 dan 24 mengenai larangan-larangan perkawinan, dalam ayat tersebur Allah SWT tidak melarang perkawinan "Cross Cousins" dan "Parallel Cousins" (menurut istilah antropologi sosial) antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, ini berarti bahwa tidaklah wajib orang melakukan perkawinan "exogami" untuk mempertahankan clan (matrilineal dan patrilineal) dalam masyarakat unilateral dan bermakna pula tidak dilarang orang melakukan perkawinan "endogami" dalam clan. Oleh karena itu sistem kekeluargaan dalam Al-Qur'an adalah "Bilateral", maka asas kewarisan yang merupakan bagian dari sistem kekeluargaan yang bilateral itu juga bilateral, asas ini dianut pula dalam KHI. C. ASAS INDIVIDUAL. Maksud asas ini adalah bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerima menurut kadar bagiannya masing-masing sebagaimana disebutkan dalam ayat 11, 12 dan 176 surat An-Nisa tanpa terikat kepada ahli waris yang lain. Jika pembagian warisan yang menurut asas individual ini telah dilakukan, maka setiap ahli waris berhak untuk berbuat atau bertindak atas harta yang diperolehnya kalau ia telah mampu (telah mempunyai kemampuan bertindak, dewasa dan berakal), bila belum bisa, maka diangkat "wali" untuk mengurus hartanya itu. Asas ini tertuang dalam KHI pada Pasal-pasal mengenai besarnya bagian ahli waris Bab III Pasal 176 s/d 180. Bagi ahli waris yang belum dewasa atau dalam keadaan tidak mampu bertindak hukum, maka diangkat wali pengampu berdasarkan Putusan Hakim (Pengadilan) atas usul anggota keluarganya (Pasal 184 KHI). D. ASAS KEADILAN BERIMBANG. Kata :Adil" banyak disebut di dalam Al-Qur'an, karena itu kedudukannya sangat penting dalam sistem Hukum Islam termasuk dalam Hukum Waris. Oleh karena itu dalam ajaran Islam "Keadilan" adalah titik sentral, proses dan tujuan segala penegakan hukum dan tindakan manusia. Dalam hukum waris keadilan itu dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Dengan demikian asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat "Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban", antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam kewarisan Islam, harta warisan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakekatnya adalah "Pelanjutan" tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup isteri dan anaknya menurut kadar kemampuannya (Q. S. Al_Baqarah: 233 dan At-Thalaq : 7). Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilakukannya, terlepas dari persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Ada juga tanggung jawab seorang laki-laki terhadap kerabatnya yang lain (Q.S. Al-Baqarah : 177) yaitu memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim dan seterusnya. Dengan demikian, maka berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperoleh (1:2 anatara laki-laki dan perempan) dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya manfa'at yang dirasakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan dari bagian harta warisan yang mereka peroleh pada dasarnya adalah sebanding dan sama. Asas ini dalam KHI selain tertuang dalam Pasal-pasal 176 s/d 180, juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan yang dilakukan ketika menyelesaikan pembagian harta warisan dengan "Aul" dan "Rad" serta "Takharuj atau Tasaluh" sebagai berikut : 1. Pemecahan secara "Aul" dengan membebankan kekurangan harta warisan yang akan dibagi kepada semua ahli waris yang berhak menurut kadar bagiannya masing-masing, ini diatur dalam Pasal 192 KHI dengan menaikkan "angka penyebut" sesuai atau sama dengan "angka pembilang". 2. Penyesuaian juga dapat dilakukan dengan jalan "Rad", yakni dengan mengembalikan sisa atau kelebihan harta kepada ahli waris yang ada, sesuai dengan kadar bagiannya masing-masing. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak menerima kelebihan (pengembalian) itu, "Jumhur Ulama" mengatakan yang berhak hanyalah ahli waris karena "hubungan darah / keturunan" bukan karena hubungan perkawinan (suami atau isteri). Soal "Rad" ini dirumuskan dalam Pasal 193 KHI, yaitu : "Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris "Dzawil Furudl" menunjukkan bahwa "angka pembilang" lebih kecil dari pada "angka penyebut", sedangkan tidak ada ahli waris "ashabah", maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara "Rad", yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka". Dalam rumusan ini tidak dibedakan antara ahli waris karena hubungan darah/keturunan dengan ahli waris karena hubungan perkawinan (suami atau isteri), pendapat dalam KHI ini sesuai dengan pendapatnya Utsman bin Affan RA. 3. Takharuj atau Tasaluh. Pengertian Takharuj adalah perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang atau lebih diantara ahli waris dalam menerima bagian dari harta warisan dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik diantara ahli waris itu sendiri, maupun berasal dari harta warisan yang bakal dibagikan itu. Ini berarti haruslah berdasarkan kesepakatan bersama. Takharuj ini dibenarkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Kewarisan Mesir dalam Pasal 48. Pada KHI Pasal 183 berbunyi: "Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya". Dalam asas Keadilan Yang Berimbang ini, dapat juga dimasukkan masalah "ahli waris pengganti" yang dirumuskan dalam Pasal 185 KHI yaitu: "Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173", yaitu orang-orang yang dihukum kerena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris, atau dipersalahkan karena memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. "Bagian untuk ahli waris penggganti tidak boleh melebihi dari bagian dari ahli waris yang sederajat dengan yang diganti". Alasan memasukkan ahli waris pengganti ini ke dalam asas keadilan berimbang adalah karena masalah "cucu" yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Perkataan "ahli waris pengganti" itu sendiri berasal dari Prof. Hazairin, dalam bukunya "Hukum Kewarisan Bilateral", beliau berpendapat bahwa menurut Al;Qur'an dan hadits serta diangkat dari perbendaharaan Hukum Adat Indonesia, maka garis pokok penggantian itu tidak ada sangkut pautnya dengan ganti mengganti, tetapi hanya untuk menunjuk siapa-siapa ahli waris. Tiap-tiap ahli waris itu berdiri sendiri sebagai ahli waris, dia bukan mengganti ahli waris yang lain, sebab penghubung yang tidak ada lagi itu bukan ahli waris, sehingga substitusi tidak ada lagi. E. ASAS AKIBAT KEMATIAN. Asas ini menegaskan bahwa waris mewaris itu akan terjadi apabila ada seseorang yang meninggal dunia. Menurut Hukum Waris Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain akibat dari kematian itulah sebagai pewarisan, jadi tidak dinamakan warisan jika seseorang itu masih hidup yang memberikan atau mengalihkan dan memindahkan hartanya kepada yang masih hidup, atau menjanjikannya untuk diberikan setelah ia meninggal dunia. Dengan demikian Hukum Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja yaitu kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian seseorang atau yang disebut dalam Hukum Kewarisan Perdata Barat yaitu "Kewarisan Ab Intestato" atau kewarisan menurut Undang-Undang. Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari kata "Waratsa" yang banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam ayat–ayat kewarisan "warats" mengandung makna "peralihan harta setelah kematian". (Amir Syarifuddin, 1984: 18-26). Pada KHI asas ini tercermin dalam rumusan berbagai istilah kewarisan seperti Hukum Kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada Bab Ketentuan Umum, hanya saja berbeda dengan Kitab Fiqh pada umumnya, masalah Wasiat ditempatkan tersendiri dalam Bab V.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger